LEGAL OPINION

LEMBAGA PRAPERADILAN

Oleh : Saut Excaverius Sagala, S.H.M.H.

PENGANTAR

  1. Bahwa kehadiran lembaga Praperadilan terinspirasi oleh prinsip-prinsip yang bersumber dari adanya hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon, yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia khususnya hak kemerdekaan.
  2. Habeas Corpus Act memberikan hak pada seseorang melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut pejabat yang melaksanakan hukum pidana formil tersebut agar tidak melanggar hukum (ilegal) atau tegasnya melaksanakan hukum pidana formil tersebut benar-benar sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini untuk menjamin bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap seorang tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi ketentuanketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan hak-hak asasi manusia;

 

PENGERTIAN PRAPERADILAN

Bahwa Pasal 1 butir 10 point b, UU NO. 8 Tahun 1981 Kitab undang Undang Hukum Acara Pidana menjelaskan:

Bahwa Pasal 1 angka 10 KUHAP:

Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

    1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya;
    2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
    3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan.

 

TUJUAN PRAPERADILAN

  1. Bahwa keberadaan Lembaga Praperadilan secara jelas dan tegas dimaksudkan sebagai sarana kontrol atau pengawasan horizontal untuk menguji keabsahan penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum (ic.Penyelidik/Penyidik maupun Penuntut Umum), sebagai upaya koreksi terhadap penggunaan wewenang apabila dilaksanakan secara sewenangwenang dengan maksud/tujuan lain di luar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP, guna menjamin perlindungan terhadap hak asasi setiap orang;
  1. Bahwa lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 s/d 83 KUHAP adalah suatu lembaga yang berfungsi untuk menguji apakah tindakan/upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik/penuntut umum sudah sesuai dengan undang-undang dan tindakan tersebut telah dilengkapi administrasi penyidikan secara cermat atau tidak, karena pada dasarnya tuntutan Praperadilan menyangkut sah tidaknya tindakan penyidik atau penuntut umum di dalam melakukan penyidikan atau penuntutan.
  1. Bahwa tujuan Praperadilan adalah sebagaimana tertuang dalam Penjelasan Pasal 80 KUHAP berbunyi :

Pasal ini bermaksud untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran melalui sarana pengawasan secara horizontal.

 

OBJEK PRAPERADILAN

  1. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
    • Bahwa Pasal 1 angka 10 KUHAP:

Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

      1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya;
      2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
      3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan.
    • Bahwa Pasal 77 huruf a UU NO. 8 Tahun 1981 Kitab undang- Undang Hukum Acara Pidana menyatakan:

“Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

      1. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
      2. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan”

 

  1. PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN

Bahwa Pasal 2 ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan, berbunyi

    • Obyek Praperadilan adalah:
      1. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan;
      2. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. 
        • Pemeriksaan Praperadilan terhadap permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka hanya menilai aspek formil, yaitu apakah ada paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang sah dan tidak memasuki materi perkara. 
        • Putusan Praperadilan yang mengabulkan permohonan tentang tidak sahnyapenetapan tersangka tidak menggugurkan kewenangan Penyidik untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka lagi setelah memenuhi paling sedikit dua alat bukti baru yang sah, berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara

 

  1. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 21/PUU-XII/2014

Lingkup kewenangan lembaga Praperadilan telah diperluas berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUUXII/2014 tanggal 28 April 2015 yang menyatakan lingkup kewenangan praperadilan mencakup juga mengenai : sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;

 

  1. PUTUSAN PRAPERADILAN PERKARA NOMOR 24/PID.PRA/2018/PN JKT.SEL

TEROBOSAN HUKUM BARU

    • Bahwa di dalam putusan Praperadilan Perkara Nomor 24/PID.PRA/2018/PN JKT.SEL telah memberikan terobosan hukum baru. Hal ini dikarenakan di dalam putusan praperadilan tersebut, yang menjadi alasan ataupun objek praperadilan tidak merujuk pada :
      1. Undang-Undang No.08 Tahun 1981 Tentang KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
      2. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015
    • Bahwa mungkin putusan putusan Praperadilan Perkara Nomor 24/PID.PRA/2018/PN JKT.SEL terikat dengan Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 10 ayat (1) :

Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan menggalinya.

Pasal 5 ayat (1) :

Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat

 

PENGERTIAN TERSANGKA

Bahwa Pasal 1 angka 14 KUHAP menyatakan:

“Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”

 

PENGERTIAN PENYIDIK

Bahwa berdasarkan pasal 1 angka 2 KUHAP, Penyidikan didefinisikan sebagai :

“serangkaian tindakan penyidik dalam dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”;

 

BUKTI PERMULAAN YANG CUKUP

  1. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
    1. Bahwa Pasal 17 KUHAP menyatakan:

“Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup”

 

    1. Pasal 183 KUHAP, menyatakan :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”

 

  1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
    • Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:

“Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik”

 

  1. PENDAPAT AHLI

 Lamintang

Landasan berpikir dari 2 (dua) alat bukti tampaknya terdapat pada kesinambungan antara proses hukum di dalam Sistem Peradilan Pidana sebagaimana dinyatakan oleh Lamintang sebagai berikut[1]:

Secara praktis bukti permulaan yang cukup dalam rumusan Pasal 17 KUHAP itu harus diartikan sebagai bukti minimal berupa alat bukti seperti dimaksud Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang dapat menjamin bahwa penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan penyidikan terhadap seseorang yang disangka melakukan suatu tindak pidana, setelah terdapat orang tersebut dilakukan penangkapan.

 

PUTUSAN PRAPERADILAN TIDAK TERIKAT DENGAN ASAS NEBIS IN IDEM

  • Bahwa merujuk pada pertimbangan hukum putusan 24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel menyebutkan :

Menimbang, bahwa terhadap jawaban Termohon tersebut hakim Praperadilan berpendapat bahwa walaupun seluruh kaidah pasal 1917 KUHPerdata telah terpenuhi secara formal, tapi putusan praperadilan hanya memutus apakah secara formil proses yang dilakukan oleh penyidik dan belum memutus tentang pokok perkara yang harus diperiksa secara majelis, sehingga hakim berpendapat dalam suatu permohonan praperadilan tidak ada pembuktian tentang materi pokok perkara, sehingga tidak ada ne bis in idem dalam perkara praperadilan, sehingga dengan demikian sepanjang eksepsi poin ini adalah tidak beralasan dan harus ditolak;

  • RES JUDICATA PRO VERITATE HABETUR

ada prinsip hukum yang berlaku universal, yakni putusan pengadilan harus dianggap benar (res judicata pro veritate habetur)

 

PIHAK-PIHAK YANG DAPAT MENGAJUKAN PRAPERADILAN

  1. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
    1. TERSANGKA, KELUARGA ATAU KUASANYA

PASAL 79 KUHAP

Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya

 

    1. PENYIDIK ATAU PENUNTUT UMUM ATAU PIHAK KETIGA

PASAL 80 KUHAP

Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya

PASAL 81 KUHAP

Permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya

 

  1. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 98/PUU-X/2012

PIHAK KETIGA

Mahkamah Konstitusi dalam putusannya pada perkara nomor 98/PUU-X/2012 yang diucapkan tanggal 21 Mei 2013 dimana Pemohonnya adalah Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dalam amar putusannya menyatakan:

Mengabulkan permohonan Pemohon;

    1. Frasa pihak ketiga yang berkepentingan dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) adalah bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan;
    1. Frasa pihak ketiga yang berkepentingan dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan;

  

PUTUSAN PRAPERADILAN TIDAK DAPAT DIAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI

Bahwa di dalam pasal 3 ayat 1 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan, berbunyi :

  • Putusan Praperadilan tidak dapat diajukan peninjauan kembali

 

PENYIDIK DAN PENUNTUT UMUM TIDAK DAPAT MENGAJUKAN BANDING ATAS PUTUSAN PRAPERADILAN

  1. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

Pasal 83 KUHAP

    1. “Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 79, pasal 80 dan pasal 81 tidak dapat dimintakan banding”.
    2. dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan/penuntutan, hal itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan”

 

  1. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI (MK) NOMOR 65/PUU-IX/2011

Mahkamah Konstitusi (MK) lewat putusannya menyatakan menghapus ketentuan Pasal 83 ayat (2) UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur kewenangan penyidik/ penuntut umum mengajukan banding atas putusan praperadilan.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 65/PUU-IX/2011 menghapus pemberian hak banding kepada penyidik dan penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP sehingga terhadap putusan praperadilan tidak dapat lagi diajukan upaya hukum banding;

 

 

Catatan :

LEGAL OPINION ini berlaku untuk kalangan sendiri, sebagai bahan diskusi DPC PERADI KENDAL.

[1] Baca putusan No. 24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel, halaman 56